top of page

Berputar di Dalam Lingkaran Awang Behartawan

Diperbarui: 18 Agu 2021



Awang Behartawan, Davis Gallery, Denmark, 2021

12 Agustus 2021 menjadi hari yang dinantikan bagi seniman Awang Behartawan. Pasalnya pameran tunggalnya yang berjudul “Round in Circles” akan segera digelar di Davis Gallery, Copenhagen, Denmark dan dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Denmark, Dewi Savitri Wahab. Dalam rilis tertulisnya, Dewi berkomentar mengenai sosok seniman kelahiran Palembang ini,


“Tahun ini menjadi peringatan akan 71 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Denmark. Pengukuhan budaya melalui seni telah menjadi kunci utama terhadap hubungan bilateral kami. Beragam individu telah berperan penting dalam upaya ini, termasuk Awang Behartawan. Awang Behartawan tanpa Lelah membangun pemahaman yang lebih baik antara Indonesia dan Denmark.


Melalui karya-karyanya, ia memperkenalkan Indonesia yang tidak cuma sebagai “seni tradisional nan eksotis” yang selalu digambarkan di berbagai negara-negara barat. Karyanya merupakan gabungan akan filosofi budaya ketimurannya dan ilmu matematika. Ia menggunakan pola fraktal – sebuah visual dengan pola pengulangan yang ia citrakan untuk memberi penjelasakan akan siklus kehidupan yang selalu berulang-ulang.”



Pameran "Round in Circles" yang Digelar


“Fraktal” menjadi konsep utama dalam pameran yang sudah dipersiapkan sejak setahun belakangan ini. Dalam pengartian ilmiahnya sendiri, fraktal merupakan bahasa dalam matematika yang berarti sebuah benda geometris yang dapat dipecah menjadi beberapa bagian dan tetap menciptakan bentuk yang sama dengan sebelumnya, dalam arti kata lain fraktal adalah bentuk pengulangan.


Awang mengadaptasi konsep pengulangan tersebut sebagaimana ia merefleksikan fraktal dengan penggambaran akan kehidupan yang selalu berputar. Karena menurutnya, disadari atau tidak, manusia hanya mengulangi berbagai fenomena baik itu kegiatan dari Senin sampai Jumat, tumbuh kembang tanaman, serta hewan-hewan yang mengalami siklus yang mungkin akan terus berulang-ulang setiap waktunya. Lingkaran sendiri dikatakan oleh Awang sebagai sebuah simbolisasi akan gelembung atau batasan sosial dalam diri manusia yang suatu saat apabila manusia tersebut ingin memperluas jangkauannya, maka dia akan menciptakan lingkaran sosial baru.


“Kita membuat lingkaran dalam bersosial, kita memiliki ruang dalam circle kita, tapi kita mau lebih besar lagi. Maka kita mengambil lagi yang besar, ini hal positif dan manusiawi sekali dan merupakan sifat manusia. Kita selalu ingin lebih dan membuat lingkaran yang lebih besar, tapi ingat, semua ini berkaitan dengan lingkaran atau gelembung-gelembung yang sebelumnya.”

Lanjut Awang menjelaskan, “Pameran ini, berputar dalam lingkaran atau Round in Circles juga karena kita hanya berputar di masalah yang sama, umpamanya, sekarang saya punya masalah, nanti masalah saya ini juga akan dialami oleh masalah orang lain, di mana mungkin orang tersebut juga sudah mengalami masalah yang sedang saya alami. Begitu terus kehidupan, baik senang dan sedih, baik sedang di atas maupun di bawah, semua sama dan kita hanya mengulanginya saja.”


Di depan layar zoom yang menghubungkan antara Denmark-Jakarta, saya meresapi penjelasan Awang atas filosofi seninya. Pada dasarnya memang yang ia jelaskan begitu masuk akal, seolah tidak ada kejadian yang baru di muka bumi ini karena semua merupakan bentuk pengulangan. Apa yang saya alami sekarang, sudah pernah dialami oleh orang lain, dan pencapaian apapun yang saya raih sekarang, suatu saat akan diraih oleh orang lain juga. Mengutip pernyataan kurator Yaksa Agus terkait pameran kali ini,


”Karya-karya Awang dapat terlihat layaknya tanda dan kejutan yang berlapis-lapis. Seolah kita diundang untuk nunggu trubuse pupus thukulan manggis (menunggu buah manggis untuk tumbuh) pepatah yang bisa diartikan pelan namun pasti, akan datang masanya dengan sabar. Secara tidak sadar, ia terlihat ingin mempersembahkan sebuah ruang kesadaran melalui garis-garis dan bidang-seperti elemen-elemen yang terdapat pada bating, tenun, dan songket yang di mana memperlihatkan ciri kenusantaraan yang kuat…….


…Awang mengajak kita untuk menerawang awang-awang bersama, di mana ia ingin memperlihatkan adanya perubahan yang terjadi dalam peradaban kaum urban. Seperti kehidupan perkotaan yang absurd, fragmentasi yang serba cepat berubah menjadi sebuah stereotip. Namun jika ditelisik lebih dalam, apa yang dilakukan Awang melalui karya-karyanya bukan hanya mburu seneng (mencari kesenangan), tapi lebih dari itu, dia mburu antenge pikir lan urip (Mengejar ketenangan jiwa dan hidup).”


Dalam pameran ini, sang seniman akan mempersembahkan total 35 karya yang dia ciptakan dalam rentang waktu dua tahun sejak 2019 lalu. Bagi kalian yang berada di luar wilayah Kopenhagen, karya-karya ini bisa dilihat di awangart.dk untuk sekilas memberi gambaran seperti apa fraktal-fraktal yang akan Awang sajikan dalam dua tahun terakhir ini.


Pameran ini awalnya hendak dilaksanakan pada Januari 2021 lalu, namun karena aturan darurat pandemi, maka pameran pun diundur hingga 12 Agustus 2021. Delapan paragraf mungkin sudah terlewat, kita sudah sedikit tahu dengan bagaimana karyanya berbicara kepada masyarakat. Namun, sebenarnya, siapakah Awang behartawan? Tidak, kalian tidak perlu keluar dari halaman ini dan mengetik namanya di google, karena cerita selanjutnya akan banyak berbicara tentang perjalanan karirnya di dunia seni.


Awal dari Siklus Seni sang Awang

Awang merupakan lulusan seni desain grafis di tahun 1992-93. Dalam kisah yang dituturkan, terdapat sebuah stereotip yang tumbuh di kalangan seniman bahwa, ada pengakuan tidak tertulis yang mengatakan bahwa seorang seniman baru diakui apabila dia merupakan lulusan fakultas seni rupa. Awang yang bukan lulusan seni rupa pun sempat mendapat tantangan dalam membangun karir berkeseniannya di tanah air.


“Saya bukan dari ISI (Institut Seni Indonesia di Yogyakarta), namun saya sering main ke ISI dan belajar matung di sana. Jaman dulu, seniman tidak dianggap seniman bila dia bukan lulusan fakultas seni rupa, jadi cukup susah dan panjang perjalanan saya untuk diakui.”


Proses pembuktian yang dilakukan oleh pria kelahiran Palembang, 1970 tersebut memang dimulai secara perlahan, misalnya dengan mengadakan pameran internasional di tahun 1996, di Swedia dan satu tahun setelahnya ia mencoba melakukan peruntungan dengan mengirimkan karya ke sebuah galeri di Copenhagen, Denmark. Meskipun dalam upaya tersebut, dikatakan tidak berhasil pada saat itu.


“Saya awalnya tidak diterima (di Indonesia), dan di Denmark diterima dulu, dan di indo baru diterima sebagai seniman. Saya ingin menunjukkan di Denmark bahwa Indonesia tidak hanya tradisional tapi juga contemporary art juga. Akhirnya pelan-pelan seniman-seniman di Jogja menerima saya, dan sering mengadakan kerjasama. Saya selalu menjelaskan (kalau di tempat saya berdomisili sekarang), seniman itu tidak harus dari sekolah seni tidak seperti di Indonesia. Di Denmark konseptual yang diutamakan.”


Cerita pengakuan ini dapat divalidasi dari perjalanan pameran yang ia lakukan sejak tahun 1996 yang banyak dilaksanakan di negara-negara Eropa seperti Swedia, Jerman, dan Denmark. Awang sendiri sudah mulai menetap di Denmark sejak 1997. Dari situ dia juga melakukan kegiatan diplomasi seni untuk memperkenalkan seniman-seniman Indonesia di Denmark dan sebaliknya serta menjadi jembatan antar pertemuan seni barat dan timur yang juga menjadi salah satu pondasi dalam filosofi berkeseniannya.


Memahami Lingkaran-Lingkaran Awang Behartawan

Berbicara mengenai karya-karya yang Awang hadirkan di L Project, saya berkesempatan untuk bertanya-tanya sekaligus membedah bersama makna-makna yang tersembunyi di balik setiap karyanya dan bagaimana karya tersebut bisa dinikmati oleh awam seperti saya.

Karya pertama yang dihadirkan adalah “Return” yang merupakan karya yang ia gubah pada tahun 2019. Return menceritakan tentang sebuah lanskap pemandangan yang biasa ia lihat dari balik studionya di Jogjakarta.

Awang Behartawan - Return (2020)

Terlihat megahnya gunung Merapi yang menjunjung tinggi ditunjang dengan objek seperti hutan dan perkotaan tepat di bawah kaki sang gunung aktif tersebut. Dalam pandangan Awang, melalui dekorasi fraktal di dalam lukisan tersebut, Merapi bisa digambarkan sebagai pemberi kehidupan namun juga bisa menjadi sebuah sumber kehancuran, pengulangan akan terjadi, apabila ada kehancuran maka dengan cepat manusia bisa segera bangkit membangun peradaban baru Kembali. Begitu pula dengan hutan, hutan yang awalnya tandas akibat diterjang lahar dan awan panas juga bisa tumbuh subur Kembali seiring berjalannya waktu, semua masih melingkar di dalam siklus lingkarannya masing-masing.


Karya kedua yang kami diskusikan merupakan karya yang dibuat pada tahun 2017 yaitu “Heritage Credence”. Karya ini menceritakan warisan budaya yang melekat pada diri Awang, yaitu warisan budaya Indonesia disimbolkan dengan motif-motif daun yang menjadi spotlight utama di tengah kanvas. Budaya sendiri, Awang menjelaskan secara historis setiap budaya selalu memiliki akar yang sama, di mana ia menganalogikan, motif-motif di Indonesia juga ditemukan di Yunani ribuan tahun yang lalu. Kembali lagi filosofi fraktalnya pun masuk, bahwa semua akan mengulang.



Kehadiran motif yang juga ditemukan baik di Asia dan juga Eropa mengukuhkan identitas budayanya yang menjadikan kedua benua ini sebagai rumahnya. Awang beranggapan, warisan budaya tidak harus hadir di dalam bentuk, ia juga bisa hadir dalam ingatan, atau bahkan penerus yaitu sebuah warisan yang hidup.


Selanjutnya, saya ingin mengajak kalian untuk ikut tenggelam bersama karyanya. Saya akan melampirkan satu buah karya dan meminta kalian untuk memandanginya beberapa saat. Bisa diamati dari pola, aset, warna, judul atau temuan-temuan apapun yang kiranya menarik perhatian anda.


I


“Beautiful Conflex” (2020) bercerita mengenai sebuah keindahan yang menyimpan begitu banyak labirin di dalamnya. Menggambarkan isi hati manusia yang begitu kompleks yang diwujudkan dalam sebuah penggambaran bangunan, dengan berbagai lapisan-lapisan rumit sebagai latar. Sebuah bentuk introspeksi diri akan hubungan sosial antar sesama yang indah bila dipandang namun akan sulit hingga mustahil untuk dipahami bila digali lebih dalam. Apakah kalian menangkap gambaran yang sama? Atau mendapat interpretasi yang berbeda?


Lukisan terakhir yang saya sertakan kali ini merupakan salah satu lukisan terbaru Awang di tahun 2020 dengan judul “There’s Space for Anyone”. Karya ini merefleksikan pandangan pribadinya terkait masalah kemanusiaan yang terjadi di beberapa negara di Eropa yang dilatarbelakangi oleh permasalahan politik di dalam negeri. Lukisan ini menyuarakan suara yang mengatakan semua mahluk hidup memiliki nilai yang sama dan akan selalu diterima dimanapun mereka berada. Isu imigran menjadi inspirasi dalam karya ini, di mana banyak pencari suaka dari negara-negara konflik yang ditolak maupun ditelankarkan. Awang memandang bahwa sebenarnya masih banyak tempat untuk menampung mereka dalam mencari kehidupan yang layak dan aman, jauh dari teror akan perang dan penindasan.



Awang Behartawan - There's Space for Anyone (2020)


Awang, membawa fraktal dan lingkarannya kepada dunia barat hingga akhirnya dirinya Kembali ditemukan di kampung halamannya. Beruntung, saya dan L Project bisa mengenal sosok seniman seperti ia yang bersanding bersama ratusan seniman Indonesia lain di platform kami. Visi berkesenian Awang yang juga ingin menunjukkan bahwa Indonesia juga menyajikan kekayaan seni kontemporer yang beragam tidak sekedar seni tradisional eksotis di mata barat, seolah sejalan dengan apa yang ingin kami capai melalui platform digital ini.


Penulis: Cliff Moller

Disunting oleh: Jeanette Natasha


Kata Kunci: Awang Behartawan, L Project, Indonesia Art Expo 2021, Round in Circles, Denmark, Indonesia.

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page