top of page

PINTU BELAKANG: LABORATORIUM SENI DALAM MEMVISUALKAN BAHASA PRIBADI


Indonesia Art Expo 2021 atau IAE 2021 telah memasuki satu bulan pertamanya sejak pertama kali diluncurkan. Berbagai seniman dari setiap kalangan pun telah bergabung untuk menjadi bagian dari kegiatan paling akbar dari L Project ini. Tidak hanya seniman-seniman yang puluhan tahun berkarya, seniman-seniman muda pun juga turut hadir untuk meramaikan.


Salah satunya adalah Jonathan Viola Christian, Frisky Jayantoro, dan Chrisye Alifian yang merupakan seniman yang saat ini berdomisili di Kota Batu, Jawa Timur. Ketiganya hadir di Indonesia Art Expo 2021 sebagai representasi dari sebuah studio seni di Batu yang bernama “Pintu Belakang”. Ketiga seniman tersebut saat ini tengah mengadakan sebuah pameran yang merupakan bagian dari IAE 2021 yang efektif dibuka dari tanggal 5 Juli hingga 31 Agustus 2021.


Sang Kurator pameran, M. Yunus mengatakan bahwa “Pintu Belakang” sendiri merupakan sebuah “laboratorium” seni untuk meluapkan beragam ekspresi masing-masing. Tempat ini menjadi wadah yang tepat, tidak hanya bagi Jonathan, Chrisye, dan Risky, namun juga bagi kedua kawan lainnya yang tergabung di dalamnya guna memvisualkan bahasa mereka masing-masing melalui karya seni.


“Jejak-jejak proses kreatif para seniman ditampilkan secara sederhana, namun tetap kuat. Abstraksi dan karakter bahasa tiap seniman ditunjukkan sesuai balutan ekspresi mereka masing-masing. Karya-karya ini yang akan menjadi pusat perhatian di lantai bawah studio.” Ujar Yunus dalam catatan kuratorial tertulisnya mengenai pameran Pintu Belakang kali ini.


TIGA SENIMAN, TIGA BAHASA VISUAL

Lima seniman menjadi fondasi utama dari studio yang baru genap berusia dua tahun ini. Lahir dari rasa kebersamaan yang terbentuk pada masa-masa di sanggar akademis, kelimanya lanjut untuk memutuskan menciptakan sebuah wadah di mana mereka bisa saling berekspresi dan berdiskusi dalam upaya melahirkan sebuah karya seni. Kami berhasil menghubungi tiga seniman dari studio ini, yaitu Jonathan, Chrisye, dan Frisky. Ketiganya hadir dengan ciri khas masing-masing dalam berseni.


Jonathan Viola, dalam catatan kuratorial yang ditulis oleh Dwiki M. Nugroho mengatakan bahwa ia banyak melakukan proses ekperimentasi menggunakan tidak hanya kanvas, namun juga menggunakan medium yang didapat dari barang sehari-hari. Karyanya banyak terinspirasi dari memori-memori lama yang berputar pada kejadian-kejadian saat dia berangkat kerja, isu remeh yang ditemukan, guyonan rekan-rekannya, dan juga berita-berita dari surat kabar maupun media sosial yang dia baca.


Karir berkesenian Jonathan diawali dari jenjang pendidikan yang ia tempuh di pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Indonesia. Jonathan sendiri awalnya masuk di konsentrasi pendidikan seni rupa yang lulusannya akan menempuh karir di keguruan bukan murni seniman. Namun, kehidupannya di sanggar kampus bersama rekan-rekan yang pada akhirnya menginspirasi dan banyak memberi pengaruh terhadap dirinya untuk menjalani kehidupan berkesenian.


Secara visual bisa dilihat, karya dari pria kelahiran Tulungagung, 1995 ini banyak menampilkan kolase-kolase material seperti lembaran kain, baju-baju bekas, majalah yang disobek, yang ditumpuk, dibakar, dan ditata ulang. Jonathan pun menyebut dirinya sebagai seniman yang saat ini condong ke arah penciptaan seni deformasi, yaitu sebuah seni yang mengubah bentuk asli dari sebuah bentuk yang menjadi objek utama sang seniman.



Jonathan Viola - Imaji Bawah Tanah #1 (right) & #2 (left)

Acrylic, Fabric, Crayon, Paper, Pen on canvas, 120x100x4 cm


Berbeda dengan Jonathan dan seni deformasinya, Frisky Jayantoro hadir dengan latar belakang street art yang dia lakoni sejak usia SMA. Menempuh pendidikan seni yang sama Bersama Jonathan, Frisky menceritakan bahwa saat dirinya masih bergabung di unit kegiatan mahasiswa (Bersama Chrisye, dan Jonathan) pengaruh para senior dan alumni banyak membantu proses kembang berkeseniannya.

“SENI ITU MENURUTKU ADALAH POLA PIKIR, KARENA DI BERKESENIAN HARUS ADA SESUATU YANG FRESH, YANG BARU DAN SAYA MENCOBA MEMBALIK DOGMA (TENTANG SENI) YANG ADA DI MASYARAKAT.” - Frisky Jayantoro

Tidak jarang berbagai residensi informal dia sambangi ke rumah alumni-alumni yang sudah mengadakan pameran hingga ke taraf internasional. Masa kuliah, diskusi dengan sesama rekan seniman, serta pengalaman sebagai seniman mural lambat laun mengubah perjalanan seni pria kelahiran 1997 ini. Transisi berkesenian Friski dari street art atau graffiti menjadi pelaku kontemporer salah satunya didasari oleh pola monoton yang dia rasakan saat melukis di media jalanan,


“Lukisan itu luas tidak hanya di jalanan, di kanvas pun bisa. Aku juga merasa stagnan Ketika di graffiti karena kan terus mengulang-ulang font dan hal yang sama. Sedangkan di seni kontemporer kita bisa melakukan apa saja. Jadi saya tidak hanya terpaku pada lukis tapi bisa juga instalasi.”


Perubahan seni tersebut dapat terlihat dari karya-karya yang Frisky submit di L Project kali ini. Dominasi warna gelap yang banyak menghiasi karyanya merupakan bentuk eksperimen baru seninya yang sangat bertolak belakang kepada tipikal warna-warna street art yang lebih terang.


Apabila Frisky dan Jonathan mengambil jalan sebagai seniman melalui pendidikan seni yang mereka terima semasa kuliah, lain dengan salah satu anggota Pintu Belakang, Chrisye Alifian. Chrisye sendiri merupakan mahasiswa teknik mesin di kampus yang sama dengan Jonathan dan Friski. Tidak menempuh pendidikan seni bukan berarti minatnya terhadap dunia tersebut tidak besar. Kecintaannya pada seni rupa dimulai sejak masa kanak-kanak yang sudah terlihat dari hobinya yang gemar menggambar tokoh-tokoh anime yang tayang di televisi.


Dalam menampilkan ekspresi dirinya, karya-karya Chrisye menampilkan potongan-potongan peristiwa yang pernah dia alami. Potongan peristiwa itu bisa berasal dari kejadian penting di masa lalunya, atau sekedar peristiwa yang ringan namun begitu menarik sehingga Chrisye tertarik untuk merespon dalam karyanya. Dia pun membagi masa berkaryanya dalam dua periode yang ia sebut sebagai periode daging dan periode figur.


Dalam periode daging, karya-karya Chrisye banyak mengambil dari sisi traumatis dirinya di masa lalu baik dari kejadian yang dilihatnya, perasaan hatinya, dan berbagai memori-memori yang tertanam di pikirannya. Perjalanan tersebut tidak berakhir, Chrisye pun mencoba untuk bereksperimen Kembali di dalam periode figur yang menjadikan seniman Barbara Krall sebagai salah satu inspirasinya. Dalam periode ini, subjek lukisan banyak mengambil tokoh yang benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari sang seniman yang memberikan gambaran akan Sebagian dari kehidupan personalnya kepada penikmat.



BESOK, LUSA, DAN KEDEPANNYA…

Pameran Pintu Belakang mungkin akan berakhir pada 31 Agustus 2021 seiring dengan berakhirnya event Indonesia Art Expo 2021, namun kegiatan berkarya ketiga seniman ini tidak akan selesai di sini. Proses eksperimentasi masih akan terus berlanjut di laboratorium seni mereka yang mungkin bisa menjadi gambaran akan wajah seni rupa dari Kota Batu, Jawa Timur. Melalui tangan-tangan artistik merekalah, estafet akan masa depan seni rupa Indonesia akan diserahkan dari tangan para pendahulunya.


Seperti yang kita tahu, Pintu Belakang mereka anggap sebagai sebuah kelompok bermain untuk meluapkan ekspresi. Tentu saja, esok hari akan selalu ada kejutan-kejutan baru yang akan lahir dari tangan Jonathan, Chrisye, dan Frisky. Sebagai perupa yang berada di daerah, mereka pun juga hadir untuk mewujudkan sebuah visi dimana dikatakan oleh Jonathan bahwa seni Indonesia saat ini masih dirasa mengkerucut di kota-kota besar. Padahal, daerah-daerah lain juga memiliki suara yang sama kuatnya dalam menunjukkan eksistensi mereka dan menjadi rujukan seni yang sama ratanya bagi para penikmat seni kontemporer Indonesia.


Kata kunci: Indonesia Art Expo 2021, L Project, contemporary art, profile, Jonathan Viola, Chrisye Alifian, Frisky Jayantoro, M. Yunus, Pintu Belakang, IAE 2021.

127 views0 comments
bottom of page